Suatu hari, seorang mantan muridnya datang ke rumahnya. Ia membawa seikat ubi yang diamanahkan oleh ayahnya sebagai oleh-oleh pada sang guru. "Pak guru, saya membawa ubi. Hanya ini yang saya dan keluarga punya untuk membalas kebaikan bapak," ujarnya.
Melihat muridnya yang lugu dan tulus, sang guru tersentuh. "Kok repot-repot, Nak? Duduk di sini dulu ya. Kamu pasti capek jauh-jauh dari desa bawa ubi. Bapak ke belakang dulu," ujar sang guru.
Pria paruh baya itu pun berjalan ke belakang dan menemui istrinya. "Bu, kita punya apa? Ini muridku bawa ubi," kata pria itu. Sang istri melihat ke dapurnya. Tidak ada apa-apa selain alat masak, bumbu dapur dan air minum. "Punya apa kita, Pak? Wong kita cuma punya kambing peliharaan bapak itu di belakang," jawab istrinya.
Guru itu pun mengangguk-angguk, "Oo.. Ya sudah ini ubinya disimpan. Buatkan muridku minum ya, Bu. Kita kasih kambing saja," kata pria itu. Istrinya mengangguk dan membuatkan teh hangat untuk muridnya. Sementara pria itu mengambil kambing peliharaannya.
"Ini, Nak. Bawa pulang, ya? Bilang terima kasih pada bapakmu," kata pria itu. Muridnya terkejut, tapi ia sangat berterima kasih pada gurunya yang memang baik hati itu. Tak lama, ia pun pulang dari pondok gurunya.
Di jalan, murid ini bertemu dengan temannya. Teman tersebut bertanya dari mana ia mendapat kambing. Murid yang lugu itupun menceritakan bagaimana ia membawa ubi hingga dapat kambing. Mendengar cerita itu, murid yang satu ini tergiur mendapat pemberian yang sama dari gurunya. Ia pun segera pulang dan menceritakan kejadian itu pada ayahnya.
Sang ayah yang juga tergiur berkata, "Wah, mungkin kalau kamu bawa kambing, nanti kamu akan diberi sapi, Nak." Begitu pikir ayah dan anak ini. Kalau mereka memberi yang besar, maka mereka akan menerima yang lebih besar lagi.
Maka, sore itu pergilah murid yang satu ini membawa kambing ke rumah gurunya. Sang guru kaget, baru saja ia memberi kambing pada muridnya, sekarang ia menerima kambing lain yang menggantikan kambingnya. Maka buru-buru ia menemui istrinya, "Istriku, kita dapat kambing lagi. Alhamdulillah. Kita cuma punya ubi, ya? Ya sudah berikan saja ubinya untuk muridku," ujarnya.
Maka sang guru keluar membawa 3 ikat ubi yang diberikan murid pertamanya tadi. Melihat apa yang diberikan gurunya, murid kedua ini terkejut. Antara agak kecewa dan harus tetap senyum di depan gurunya. Maka ia pun pulang dengan membawa 3 ikat ubi, bukan sapi seperti yang dia harapkan.
Nenek dan Ikan Gabus
Di pinggir sebuah hutan tinggallah
seorang nenek tua bernama nenek Sabar. Ia hidup sebatang kara, suami
dan anak-anaknya sudah meninggal karena sakit. Setiap pagi ia mencari
daun-daunan untuk dijual ke pasar dan ditukar dengan makanan. Itulah
pekerjaannya sehari-hari. Nenek Sabar bertetangga dengan pak Engki,
orang paling kaya di desanya, tapi juga terkenal paling kikir, ia tak
pernah mau membantu tetangganya yang kebanyakan miskin dan susah.
Suatu siang sepulang dari pasar Nenek Sabar melewati sungai Kalimas. Mungkin karena kemarau yang panjang, air sungai mengering. Ia melihat seekor ikan gabus menggelepar karena kekurangan air. "Wah, kebetulan nih. Hari ini aku bisa makan pake lauk ikan. Syukurlah, Tuhan memberiku rizki lebih hari ini."
Tapi terjadi suatu keanehan, ikan itu ternyata bisa berbicara,"Nek, tolong saya. Jangan makan saya, tapi masukkan saya ke tempat yang banyak airnya. Nenek pasti akan mendapat ganti yang lebih baik" kata si ikan menghiba. Akhirnya si Nenek tidak jadi mengambil ikan gabus itu dan memasaknya untuk lauk, tapi hanya memindahkannya ke tempat yang banyak airnya. "Terima kasih Nek, semoga Tuhan membalas kebaikan hatimu," kata si Ikan gembira.
Sampai di rumah nenek tua itu merenung, "Mungkin aku harus lebih banyak berdoa pada Tuhan agar aku mendapat rizki yang banyak." Kemudian nenek Sabar berdoa setiap malam dengan keras,"Ya Tuhan berilah hamba rizki yang banyak," begitu doanya setiap malam.
Lama kelamaan Pak Engki merasa terganggu dan bosan mendengar doa nenek Sabar setiap malam. "Berisik sekali nenek ini, bikin aku nggak bisa tidur saja. Aku harus memberinya pelajaran, biar dia tahu rasa."
Pak Engki menyuruh pembantunya memasukkan batu dan kerikil ke dalam karung. Kemudian ia naik ke genteng rumah nenek Sabar dan menjatuhkan karung itu di tempat nenek Sabar berdoa. Si Nenek kaget, kemudia ia membuka karung itu dan ternyata isinya emas dan permata. Sejak saat itu Nenek sabar menjadi kaya raya. Tapi meski kaya ia tidak sombong, ia selalu membantu tetangganya yang kesusahan. Semua orang yang minta tolong kepadanya tak pernah pulang dengan tangan hampa.
Pak Engki merasa tersaingi. Dalam hatinya terbit perasaan iri dan dengki yang terus menghantuinya. "Kenapa ya si Nenek tiba-tiba jadi kaya? Aku harus mencari tahu apa penyebabnya." Kemudian pak Engki menemui nenek Sabar dan bertanya kepadanya, bagaimana cara ia menjadi kaya. Nenek sabar menceritakan dengan jujur apa yang membuatnya menjadi kaya.
Pak Engki senang ia tahu bagaimana cara nenek Sabar menjadi kaya. Kemudian ia menyuruh pembantunya menyiapkan karung yang besar dan mengisinya dengan batu dan pasir. Kemudian ia meminta pembantunya menjatuhkan karung itu saat ia berdoa. Malamnya ia berdoa dengan keras, sama seperti yang dilakukan nenek Sabar. Bahkan ia berdoa dengan suara yang lebih keras lagi. Kemudian pembantunya menjatuhkan karung berisi batu kepadanya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Karung itu mengenai badannya dan ia pingsan seketika. Setelah siuman ia merasa badannya sakit, bahkan tulang punggungnya ada yang retak. Dengan penuh rasa penasaran, ia membuka karung itu. Ia membayangkan akan menjadi kaya raya, jauh lebih kaya daripada Nenek Sabar. Tapi betapa kecewa hatinya saat melihat isi karung tidak berubah, tetap berisi batu dan pasir. Ia kaget dan pingsan untuk kedua kalinya.
Setelah itu pak Engki perlahan-lahan jatuh miskin. Harta kekayaannya habis untuk berobat, namun sakitnya tak kunjung sembuh juga. Ia tak bisa lagi bekerja, hanya penyesalan sampai akhir hayatnya.
Suatu siang sepulang dari pasar Nenek Sabar melewati sungai Kalimas. Mungkin karena kemarau yang panjang, air sungai mengering. Ia melihat seekor ikan gabus menggelepar karena kekurangan air. "Wah, kebetulan nih. Hari ini aku bisa makan pake lauk ikan. Syukurlah, Tuhan memberiku rizki lebih hari ini."
Tapi terjadi suatu keanehan, ikan itu ternyata bisa berbicara,"Nek, tolong saya. Jangan makan saya, tapi masukkan saya ke tempat yang banyak airnya. Nenek pasti akan mendapat ganti yang lebih baik" kata si ikan menghiba. Akhirnya si Nenek tidak jadi mengambil ikan gabus itu dan memasaknya untuk lauk, tapi hanya memindahkannya ke tempat yang banyak airnya. "Terima kasih Nek, semoga Tuhan membalas kebaikan hatimu," kata si Ikan gembira.
Sampai di rumah nenek tua itu merenung, "Mungkin aku harus lebih banyak berdoa pada Tuhan agar aku mendapat rizki yang banyak." Kemudian nenek Sabar berdoa setiap malam dengan keras,"Ya Tuhan berilah hamba rizki yang banyak," begitu doanya setiap malam.
Lama kelamaan Pak Engki merasa terganggu dan bosan mendengar doa nenek Sabar setiap malam. "Berisik sekali nenek ini, bikin aku nggak bisa tidur saja. Aku harus memberinya pelajaran, biar dia tahu rasa."
Pak Engki menyuruh pembantunya memasukkan batu dan kerikil ke dalam karung. Kemudian ia naik ke genteng rumah nenek Sabar dan menjatuhkan karung itu di tempat nenek Sabar berdoa. Si Nenek kaget, kemudia ia membuka karung itu dan ternyata isinya emas dan permata. Sejak saat itu Nenek sabar menjadi kaya raya. Tapi meski kaya ia tidak sombong, ia selalu membantu tetangganya yang kesusahan. Semua orang yang minta tolong kepadanya tak pernah pulang dengan tangan hampa.
Pak Engki merasa tersaingi. Dalam hatinya terbit perasaan iri dan dengki yang terus menghantuinya. "Kenapa ya si Nenek tiba-tiba jadi kaya? Aku harus mencari tahu apa penyebabnya." Kemudian pak Engki menemui nenek Sabar dan bertanya kepadanya, bagaimana cara ia menjadi kaya. Nenek sabar menceritakan dengan jujur apa yang membuatnya menjadi kaya.
Pak Engki senang ia tahu bagaimana cara nenek Sabar menjadi kaya. Kemudian ia menyuruh pembantunya menyiapkan karung yang besar dan mengisinya dengan batu dan pasir. Kemudian ia meminta pembantunya menjatuhkan karung itu saat ia berdoa. Malamnya ia berdoa dengan keras, sama seperti yang dilakukan nenek Sabar. Bahkan ia berdoa dengan suara yang lebih keras lagi. Kemudian pembantunya menjatuhkan karung berisi batu kepadanya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Karung itu mengenai badannya dan ia pingsan seketika. Setelah siuman ia merasa badannya sakit, bahkan tulang punggungnya ada yang retak. Dengan penuh rasa penasaran, ia membuka karung itu. Ia membayangkan akan menjadi kaya raya, jauh lebih kaya daripada Nenek Sabar. Tapi betapa kecewa hatinya saat melihat isi karung tidak berubah, tetap berisi batu dan pasir. Ia kaget dan pingsan untuk kedua kalinya.
Setelah itu pak Engki perlahan-lahan jatuh miskin. Harta kekayaannya habis untuk berobat, namun sakitnya tak kunjung sembuh juga. Ia tak bisa lagi bekerja, hanya penyesalan sampai akhir hayatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar